PERSEPSI
UJARAN
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Psikolinguistik
Dosen Pengampu : Agoes
Hendriyanto, M. Pd.
Disusun Oleh:
Kelompok II
1. Ita
Purnamasari (1220717045)
2. Niken
Ary Filastanti (1220717052)
3. Riwut
Wulan Larasati (1220717060)
4. Sri
Lestari (1220717063)
5. Wahyu
Rusita Indraswari (1220717066)
6. Yuki
Mardiyani (1220717068)
PENDIDIKAN
BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
SEKOLAH
TINGGI KEJURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PERSATUAN
GURU REPUBLIK INDONESIA
PACITAN
2014
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Bahasa
merupakan satu wujud yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia,
sehingga dapat dikatakan bahwa bahasa itu adalah milik manusia yang telah
menyatu dengan pemiliknya. Sebagai salah satu milik manusia, bahasa selalu
muncul dalam segala aspek dan kegiatan manusia. Tidak ada satu kegiatan manusia
pun yang tidak disertai dengan kehadiran bahasa. Oleh karena itu, jika orang
bertanya apakah bahasa itu, maka jawabannya dapat bermacam-macam sejalan dengan
bidang kegiatan tempat bahasa itu digunakan. Berbahasa adalah proses
menyampaikan makna oleh penutur kepada pendengar melalui satu atau serangkaian
ujaran.
Ketika
kita mendengar orang lain bicara. Kita merasakan hal itu dengan wajar saja.
Bahkan mungkin kita bisa mendengarkannya sambil mengerjakan pekerjaan lain.
Kita tidak menyadari kalau ujaran yang diwujudkan dalam bentuk bunyi itu
merupakah hal yang komplek. Hal ini akan terasa ketika kita mendegar orang
dalam bahasa asing, kita akan mendengarkan penutur dengan perhatian yang
tinggi, bahkan mungkin kita menerjemahkan ucapannya perkata baru kita dapat
memahami kalimat yang disampaikan.
Masalah
yang dihadapi oleh pendengar adalah bahwa pendengar harus meramu setiap bunyi
yang dikeluarkan penutur sehingga menjadi kata yang memiliki makna dan sesuai
dengan konteks ketika kata itu diucapkan. Mungkin, bagi penutur asli hal ini
tidaklah menjadi masalah, tetapi lain halnya bagi jika pendengarnya adalah
orang asing. Hal ini bisa menjadi sangat rumit. Karena bisa menimbulkan
persepsi yang yang lain dari makna kata itu yang sesungguhnya.
Masalah
lain juga akan muncul ketika ucapan itu dituturkan dengan tempo yang cepat.
Seperti misalnya dalam bahasa inggris orang rata-rata mengeluarkan 125-180 kata
tiap menit (Dardjowidjojo, 2008:31). Disamping kecepatan ujaran, kadang kala
bunyi-bunyian tidak diucapkan secara utuh tetapi seperti lebur dalam bunyi yang
lainnya. Kita sebagai pendengar harus bisa menentukan ikut yang mana. Dengan
demikian, dalam makalah ini akan mengulas sedikit mengenai persepsi ujaran.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
proses manusia mempersepsi ujaran?
C.
TUJUAN
1. Untuk
mengetahui proses manusia dalam mempersepsi ujaran.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Persepsi
Terhadap Ujaran
Ujaran
adalah suara murni (tuturan), langsung, dari sosok yang berbicara. Jadi, ujaran itu adalah sesuatu baik
berupa kata, kalimat, gagasan, yang keluar dari mulut manusia yang mempunyai
arti. Dengan adanya ujaran maka akan muncullah makna sintaksis, semantik, dan
pragmatik. Persepsi adalah sebuah proses saat individu mengatur
dan menginterpretasikan kesan-kesan sensoris mereka guna memberikan arti bagi
lingkungan mereka.
Persepsi
terhadap ujaran bukanlah suatu hal yang mudah dilakukan oleh manusia
karena ujaran merupakan suatu aktivitas verbal yang meluncur tanpa ada batas
waktu yang jelas antara satu kata dengan kata yang lain. Misalnya tiga ujaran
berikut ini; Bukan angka, Buka nangka,
dan Bukan nangka. Meskipun ketiga ujaran ini berbeda maknanya satu dari
yang lain, dalam pengucapannya katiga bentuk ujaran ini bisa sama, misalnya [bukaNka].
Di samping
itu, suatu bunyi juga tidak diucapkan secara persis sama tiap kali bunyi itu
muncul. Bagaimana suatu bunyi diucapkan dipengaruhi oleh lingkungan di mana
bunyi itu berada. Bunyi [b] pada kata buru, misalnya, tidak persis sama dengan
bunyi [b] pada kata biru. Pada kata buru bunyi /b/ dipengaruhi oleh bunyi
/u/ yang mengikutinya sihingga sedikit banyak ada unsur pembundaran bibir dalam
pembuatan bunyi ini. Sebaliknya, bunyi yang sama ini akan diucapkan dengan
bibir yang melebar pada kata biru karena
bunyi /i/ merupakan bunyi vokal dengan bibir melebar.
Namun
demikian, manusia tetap saja dapat mempersepsi bunyi-bunyi bahasanya dengan
baik. Tentu saja persepsi seperti ini dilakukan melalui tahap-tahap tertentu.
Pada dasarnya ada tiga tahap dalam pemrosesan persepsi bunyi (Clark dalam
Dardjowidjojo, 2008: 49) yaitu:
1.
Tahap auditori
Pada tahap
ini manusia menerima ujaran sepotong demi sepotong. Ujaran ini kemudian
ditanggapi dari segi fitur akustiknya. Konsep-konsep seperti titik artikulasi,
cara artikulasi, fitur distingtif, dan VOT sangat bermanfaat di sini karena
ihwal seperti inilah yang memisahkan satu bunyi dari bunyi yang lain.
Bunyi-bunyi dalam ujaran ini disimpan dalam memori auditori kita.
2.
Tahap fonetik
Bunyi-bunyi
itu kemudian diidentifikasi. Dalam proses mental dapat dilihat, misalnya apakah
bunyi tersebut [+konsonantal], [+vois], [+nasal], dst. Begitu pula lingkungan bunyi itu, apakah
bunyi tadi diikuti oleh vokal atau konsonan. Kalau oleh vokal, vokal macam apa:
vokal depan, vokal belakang, vokal tinggi, vokal rendah, dsb. Kemudian VOT-nya
juga diperhatikan karena VOT inilah yang akan menentukan kapan getaran pada
pita suara itu terjadi.
3.
Tahap fonologis
Pada tahap
ini mental menerapkan aturan fonologis pada deretan bunyi yang di dengar untuk
menentukan apakah bunyi-bunyi tadi sudah mengikuti aturan fonotaktik yang pada
bahasa kita. Untuk bahasa Inggris, bunyi /Å‹/ tidak mungkin memulai suatu suku
kata. Karena itu, penutur Inggris pasti tidak akan menggabungkannya dengan
vokal.
B. Masalah
dalam Mempersepsi Ujaran
Dalam
bahasa Inggris, orang rata-ratanya mengeluarkan 125-180 kata tiap menit.
Penyaji berita di televisi mencapai 210 kata dan pelelang bisa mencapai lebih
dari itu (Gleason dan Ratner dalam Drdjowidjojo, 2008: 31). Jumlah ini tentunya
didasarkan ada kenyataan bahwa sebagian besar kata dalam bahasa ini bersuku
satu, misalnya book, go, it, come, dsb. Untuk bahasa Indonesia, belum ada orang
yang menelitinya, tetapi karena kata-kata dalam bahasa Indonesia pada umumnya
bersuku dua atau lebih (makan, tidur, membawa, menyelesaikan), maka jumlah kata
per menit yang diujarkan oleh orang Indonesia pastilah lebih kecil dari angka
di atas, mungkin sekitar 80-110 kata.
Suara
seorang wanita, seorang pria, dan seorang anak juga berbeda-beda. Getar pita
suara untuk wanita berkisar antara 200-300 per detik, sedangkan untuk pria
hanya sekitar 100. Karena itu, suara seorang pria kedengaran lebih “berat”.
Suara anak lebih tinggi dari suara wanita, karena getaran pita suaranya bisa
mencapai 400 per detik. Perbedaan-perbedaan ini tentu saja memunculkan bunyi
yang berbeda-beda. Meskipun kata yang diucapkan itu sama.
C. Model-Model
Untuk Persepsi
Untuk menjelaskan bunyi bahasa
dipersepsi dan terbentuk pemahaman, beberapa ahli psikolinguistik mengemukakan
model-model teoretis, yaitu sebagai berikut.
1. Model
teori motor
Model
teori motor atau theory of speech perception digunakan oleh Alvin Liberman, dan
kawan-kawan. Model teori ini menjelaskan bahwa manusia mempersepsi ujaran
dengan menggunakan acuan ketika ia memproduksi ujaran seperti diketahui bahwa
dalam tuturan sebuah bunyi dipengaruhi oleh bunyi-bunyi lainnya.
Akan tetapi ketika dipersepsi bunyi tersebut
diperlakukan sebagai fonem yang sama walaupun penampilan fonetiknya berbeda.
Hal ini, menurut teori motor, disebabkan bunyi diartikulasikan dengan cara yang
sama. Sebagai contoh bunyi (s) dipersepsi sebagai fonem yang sama pada kata saku
dan suka. Penetuan status suatu bunyi berpatokan pada bagaimana penutur
memproduksi suatu bunyi dengan cara membayangkan pengartikulasian bunyi
tersebut ketika ia sendiri mengujarkannya. (Dardjowijojo, 2005:52).
Ke dua, model analisis dengan sintesis (analysis by synthesis): model ini dikembangkan oleh
Steven dan Halle (Dardjowijojo, 2005:53) model ini menyatakan bahwa pendengar
mempunyai sistem produksi yang dapat mensistesiskan bunyi sesuai dengan
mekanisme yang ada padanya. Ketika seorang mendengar deretan bunyi mula-mula ia
menganalisis setiap segmen bunyi tersebut dengan mengidentifikasi ciri distingtifnya.
Setelah itu, ia mensistesiskan bunyi-bunyi tersebut, kemudian hasil sintesis
ini akan memunculkan bentuk-bentuk yang mirip. Terakhir ia membandingkan
bentuk-bentuk yang mirirp tersebut dengan ujaran yang baru saja ia denngar.
Jika ujaran yang dipersepsi dan yang disintesiskan cocok, maka terbentuklah
persepsi yang tepat.
Ketiga, Model Cohort: model ini dikembanngkan oleh
Marsten-Wilson dan Welsh (1978) dan Marslen-Wilson (1987 dalam Darjdjowijojo,
2005 : 53). Model ini awalnya digunakan untuk pengenalan kata, tetapi kemudian
digunakan pula untuk pengenalan prosodi. Menurut model ini, persepsi ujaran
melalui dua tahap. Tahap pertama adalah tahap fonetik. Pada tahap ini, misalnya
kita mendengar sebuah kata sebut saja /baju/. Kata baju yang kita dengar akan
akan mengaktifkan kata-kata lain yang mirip dengan ingatan kita, misalnya bara,
batik, bata, dll. Tahap selanjutnya kata-kata tersebut mengalami proses
eliminasi karena pendengar mencocokkan fitur bunyi kata yang ia dengar dengan
ingatan yang ia miliki.
Ke empat, Model jejak (Trace Model): model ini
dikembangkan oleh Elman dan Mclelland (1986) dengan inspirasi dari model Cohort
(Sugiyono, 2003 : 34). Model ini beranalogikan pada model jaringan syaraf yang
terdiri atas simpul-simpul (nodes) yang satu sama lain saling terhubung.
Hubungan antar simpul pada tataran yang berbeda bersifat saling dorong, tetapi
hubungan simpul dalam tataran yang sama bersifat saling tahan. Setiap simpul
mempunyai tingkat tidak aktif (activation level), ambang (thershold) dan aktif
(activation level). Jika sebuah stimulus mencapai ambang, simpul-simpul lain
yang terhubung akan teraktivasi. Misalnya bunyi (b) dan (o) akan mendorong
aktivasi simpul kata-kata yang dimulai oleh suku (bo) seperti bola, botak, dan
bokap. Sekaligus menekan aktivasi simpul kata yang dimulai dari suku (bi),
(ba), dan (bu) sehingga kata-kata seperti biadak, badut, dan bedak akan
diletakkan pada level non-aktif (Sugiyono, 2003b : 34).
Ke Lima, Fuzzy logical Model : Model ini dikembangkan
oleh Dominif Massaro (Dardjo Widjojo : 126). Menurut model ini pendengar
dilengkapi oleh seperangkat prototipe yang tersimpan dalam memorinya, prototipe
adalah yang memiliki karakteristik ideal. Model ini menyatakan bahwa persepsi
ujaran terdiri atas proses evaluasi fittur, integrasi fitur dan kesimpulan.
D. Persepsi
Ujaran Dalam Konteks
Bunyi
selalu diujarkan secara berurutan dengan bunyi yang lain, sehingga bunyi
tersebut membentuk semacam deretan bunyi. Persepsi terhadap suatu bunyi dalam
deretan bunyi bisa dipengaruhi oleh kecepatan ujaran. Bunyi yang diucapkan
dengan bunyi yang lain secara cepat akan sedikit banyak berubah lafalnya. Akan
tetapi sebagai pendengar kita tetap saja dapat memilah dan akhirnya menentukan
bunyi. Pengetahuan kita sebagai penutur bahasa dapat membantu dalam proses
presepsi ujaran. Faktor lain yang membantu kita dalam mempresepsi suatu ujaran
adalah pengetahuan kita tentang sintaksis maupun semantik bahasa kita.
DAFTAR PUSTAKA
Dardjowidjojo, Soenjono. 2008. Psikolinguistik:
Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar