Pages

Ads 468x60px

Sastra Indonesia

Sastra Indonesia

Blogroll

Blogger templates

Blogger news

Blogger templates

Selasa, 10 Februari 2015

PERSEPSI UJARAN Tugas Kelompok II



PERSEPSI UJARAN
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Psikolinguistik
Dosen Pengampu : Agoes Hendriyanto, M. Pd.
Disusun Oleh:
Kelompok II
1.    Ita Purnamasari                 (1220717045)
2.    Niken Ary Filastanti         (1220717052)
3.    Riwut Wulan Larasati      (1220717060)
4.    Sri Lestari                         (1220717063)
5.    Wahyu Rusita Indraswari (1220717066)
6.    Yuki Mardiyani                (1220717068)
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
SEKOLAH TINGGI KEJURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PERSATUAN GURU REPUBLIK INDONESIA
PACITAN
2014

BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Bahasa merupakan satu wujud yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, sehingga dapat dikatakan bahwa bahasa itu adalah milik manusia yang telah menyatu dengan pemiliknya. Sebagai salah satu milik manusia, bahasa selalu muncul dalam segala aspek dan kegiatan manusia. Tidak ada satu kegiatan manusia pun yang tidak disertai dengan kehadiran bahasa. Oleh karena itu, jika orang bertanya apakah bahasa itu, maka jawabannya dapat bermacam-macam sejalan dengan bidang kegiatan tempat bahasa itu digunakan. Berbahasa adalah proses menyampaikan makna oleh penutur kepada pendengar melalui satu atau serangkaian ujaran.
Ketika kita mendengar orang lain bicara. Kita merasakan hal itu dengan wajar saja. Bahkan mungkin kita bisa mendengarkannya sambil mengerjakan pekerjaan lain. Kita tidak menyadari kalau ujaran yang diwujudkan dalam bentuk bunyi itu merupakah hal yang komplek. Hal ini akan terasa ketika kita mendegar orang dalam bahasa asing, kita akan mendengarkan penutur dengan perhatian yang tinggi, bahkan mungkin kita menerjemahkan ucapannya perkata baru kita dapat memahami kalimat yang disampaikan.
Masalah yang dihadapi oleh pendengar adalah bahwa pendengar harus meramu setiap bunyi yang dikeluarkan penutur sehingga menjadi kata yang memiliki makna dan sesuai dengan konteks ketika kata itu diucapkan. Mungkin, bagi penutur asli hal ini tidaklah menjadi masalah, tetapi lain halnya bagi jika pendengarnya adalah orang asing. Hal ini bisa menjadi sangat rumit. Karena bisa menimbulkan persepsi yang yang lain dari makna kata itu yang sesungguhnya.
Masalah lain juga akan muncul ketika ucapan itu dituturkan dengan tempo yang cepat. Seperti misalnya dalam bahasa inggris orang rata-rata mengeluarkan 125-180 kata tiap menit (Dardjowidjojo, 2008:31). Disamping kecepatan ujaran, kadang kala bunyi-bunyian tidak diucapkan secara utuh tetapi seperti lebur dalam bunyi yang lainnya. Kita sebagai pendengar harus bisa menentukan ikut yang mana. Dengan demikian, dalam makalah ini akan mengulas sedikit mengenai persepsi ujaran.



B.  Rumusan Masalah
1.    Bagaimana proses manusia mempersepsi ujaran?


C.  TUJUAN
1.    Untuk mengetahui proses manusia dalam mempersepsi ujaran.



















BAB II
PEMBAHASAN
A.  Persepsi Terhadap Ujaran
Ujaran adalah suara murni (tuturan), langsung, dari sosok yang berbicara. Jadi, ujaran itu adalah sesuatu baik berupa kata, kalimat, gagasan, yang keluar dari mulut manusia yang mempunyai arti. Dengan adanya ujaran maka akan muncullah makna sintaksis, semantik, dan pragmatik. Persepsi adalah sebuah proses saat individu mengatur dan menginterpretasikan kesan-kesan sensoris mereka guna memberikan arti bagi lingkungan mereka.
Persepsi terhadap ujaran bukanlah suatu hal yang mudah dilakukan oleh manusia  karena ujaran merupakan suatu aktivitas verbal yang meluncur tanpa ada batas waktu yang jelas antara satu kata dengan kata yang lain. Misalnya tiga ujaran berikut ini; Bukan angka, Buka nangka, dan Bukan nangka. Meskipun ketiga ujaran ini berbeda maknanya satu dari yang lain, dalam pengucapannya katiga bentuk ujaran ini  bisa sama, misalnya [bukaNka].
Di samping itu, suatu bunyi juga tidak diucapkan secara persis sama tiap kali bunyi itu muncul. Bagaimana suatu bunyi diucapkan dipengaruhi oleh lingkungan di mana bunyi itu berada. Bunyi [b]  pada kata buru, misalnya, tidak persis sama dengan bunyi [b] pada kata biru. Pada kata buru bunyi /b/ dipengaruhi oleh bunyi /u/ yang mengikutinya sihingga sedikit banyak ada unsur pembundaran bibir dalam pembuatan bunyi ini. Sebaliknya, bunyi yang sama ini akan diucapkan dengan bibir yang melebar pada kata biru karena  bunyi /i/ merupakan bunyi vokal dengan bibir melebar.
Namun demikian, manusia tetap saja dapat mempersepsi bunyi-bunyi bahasanya dengan baik. Tentu saja persepsi seperti ini dilakukan melalui tahap-tahap tertentu. Pada dasarnya ada tiga tahap dalam pemrosesan persepsi bunyi (Clark dalam Dardjowidjojo, 2008: 49) yaitu:
1.    Tahap auditori
Pada tahap ini manusia menerima ujaran sepotong demi sepotong. Ujaran ini kemudian ditanggapi dari segi fitur akustiknya. Konsep-konsep seperti titik artikulasi, cara artikulasi, fitur distingtif, dan VOT sangat bermanfaat di sini karena ihwal seperti inilah yang memisahkan satu bunyi dari bunyi yang lain. Bunyi-bunyi dalam ujaran ini disimpan dalam memori auditori kita.

2.    Tahap fonetik
Bunyi-bunyi itu kemudian diidentifikasi. Dalam proses mental dapat dilihat, misalnya apakah bunyi tersebut [+konsonantal], [+vois], [+nasal], dst.  Begitu pula lingkungan bunyi itu, apakah bunyi tadi diikuti oleh vokal atau konsonan. Kalau oleh vokal, vokal macam apa: vokal depan, vokal belakang, vokal tinggi, vokal rendah, dsb. Kemudian VOT-nya juga diperhatikan karena VOT inilah yang akan menentukan kapan getaran pada pita suara itu terjadi.
3.    Tahap fonologis
Pada tahap ini mental menerapkan aturan fonologis pada deretan bunyi yang di dengar untuk menentukan apakah bunyi-bunyi tadi sudah mengikuti aturan fonotaktik yang pada bahasa kita. Untuk bahasa Inggris, bunyi /Å‹/ tidak mungkin memulai suatu suku kata. Karena itu, penutur Inggris pasti tidak akan menggabungkannya dengan vokal.
B.  Masalah dalam Mempersepsi Ujaran
Dalam bahasa Inggris, orang rata-ratanya mengeluarkan 125-180 kata tiap menit. Penyaji berita di televisi mencapai 210 kata dan pelelang bisa mencapai lebih dari itu (Gleason dan Ratner dalam Drdjowidjojo, 2008: 31). Jumlah ini tentunya didasarkan ada kenyataan bahwa sebagian besar kata dalam bahasa ini bersuku satu, misalnya book, go, it, come, dsb. Untuk bahasa Indonesia, belum ada orang yang menelitinya, tetapi karena kata-kata dalam bahasa Indonesia pada umumnya bersuku dua atau lebih (makan, tidur, membawa, menyelesaikan), maka jumlah kata per menit yang diujarkan oleh orang Indonesia pastilah lebih kecil dari angka di atas, mungkin sekitar 80-110 kata.
Suara seorang wanita, seorang pria, dan seorang anak juga berbeda-beda. Getar pita suara untuk wanita berkisar antara 200-300 per detik, sedangkan untuk pria hanya sekitar 100. Karena itu, suara seorang pria kedengaran lebih “berat”. Suara anak lebih tinggi dari suara wanita, karena getaran pita suaranya bisa mencapai 400 per detik. Perbedaan-perbedaan ini tentu saja memunculkan bunyi yang berbeda-beda. Meskipun kata yang diucapkan itu sama.
C.     Model-Model Untuk Persepsi
Untuk menjelaskan bunyi bahasa dipersepsi dan terbentuk pemahaman, beberapa ahli psikolinguistik mengemukakan model-model teoretis, yaitu sebagai berikut.

1.      Model teori motor
Model teori motor atau theory of speech perception digunakan oleh Alvin Liberman, dan kawan-kawan. Model teori ini menjelaskan bahwa manusia mempersepsi ujaran dengan menggunakan acuan ketika ia memproduksi ujaran seperti diketahui bahwa dalam tuturan sebuah bunyi dipengaruhi oleh bunyi-bunyi lainnya.
                Akan tetapi ketika dipersepsi bunyi tersebut diperlakukan sebagai fonem yang sama walaupun penampilan fonetiknya berbeda. Hal ini, menurut teori motor, disebabkan bunyi diartikulasikan dengan cara yang sama. Sebagai contoh bunyi (s) dipersepsi sebagai fonem yang sama pada kata saku dan suka. Penetuan status suatu bunyi berpatokan pada bagaimana penutur memproduksi suatu bunyi dengan cara membayangkan pengartikulasian bunyi tersebut ketika ia sendiri mengujarkannya. (Dardjowijojo, 2005:52).
                Ke dua, model analisis dengan sintesis (analysis  by synthesis): model ini dikembangkan oleh Steven dan Halle (Dardjowijojo, 2005:53) model ini menyatakan bahwa pendengar mempunyai sistem produksi yang dapat mensistesiskan bunyi sesuai dengan mekanisme yang ada padanya. Ketika seorang mendengar deretan bunyi mula-mula ia menganalisis setiap segmen bunyi tersebut dengan mengidentifikasi ciri distingtifnya. Setelah itu, ia mensistesiskan bunyi-bunyi tersebut, kemudian hasil sintesis ini akan memunculkan bentuk-bentuk yang mirip. Terakhir ia membandingkan bentuk-bentuk yang mirirp tersebut dengan ujaran yang baru saja ia denngar. Jika ujaran yang dipersepsi dan yang disintesiskan cocok, maka terbentuklah persepsi yang tepat.
                Ketiga, Model Cohort: model ini dikembanngkan oleh Marsten-Wilson dan Welsh (1978) dan Marslen-Wilson (1987 dalam Darjdjowijojo, 2005 : 53). Model ini awalnya digunakan untuk pengenalan kata, tetapi kemudian digunakan pula untuk pengenalan prosodi. Menurut model ini, persepsi ujaran melalui dua tahap. Tahap pertama adalah tahap fonetik. Pada tahap ini, misalnya kita mendengar sebuah kata sebut saja /baju/. Kata baju yang kita dengar akan akan mengaktifkan kata-kata lain yang mirip dengan ingatan kita, misalnya bara, batik, bata, dll. Tahap selanjutnya kata-kata tersebut mengalami proses eliminasi karena pendengar mencocokkan fitur bunyi kata yang ia dengar dengan ingatan yang ia miliki.
                Ke empat, Model jejak (Trace Model): model ini dikembangkan oleh Elman dan Mclelland (1986) dengan inspirasi dari model Cohort (Sugiyono, 2003 : 34). Model ini beranalogikan pada model jaringan syaraf yang terdiri atas simpul-simpul (nodes) yang satu sama lain saling terhubung. Hubungan antar simpul pada tataran yang berbeda bersifat saling dorong, tetapi hubungan simpul dalam tataran yang sama bersifat saling tahan. Setiap simpul mempunyai tingkat tidak aktif (activation level), ambang (thershold) dan aktif (activation level). Jika sebuah stimulus mencapai ambang, simpul-simpul lain yang terhubung akan teraktivasi. Misalnya bunyi (b) dan (o) akan mendorong aktivasi simpul kata-kata yang dimulai oleh suku (bo) seperti bola, botak, dan bokap. Sekaligus menekan aktivasi simpul kata yang dimulai dari suku (bi), (ba), dan (bu) sehingga kata-kata seperti biadak, badut, dan bedak akan diletakkan pada level non-aktif (Sugiyono, 2003b : 34).
                Ke Lima, Fuzzy logical Model : Model ini dikembangkan oleh Dominif Massaro (Dardjo Widjojo : 126). Menurut model ini pendengar dilengkapi oleh seperangkat prototipe yang tersimpan dalam memorinya, prototipe adalah yang memiliki karakteristik ideal. Model ini menyatakan bahwa persepsi ujaran terdiri atas proses evaluasi fittur, integrasi fitur dan kesimpulan.

D.    Persepsi Ujaran Dalam Konteks
Bunyi selalu diujarkan secara berurutan dengan bunyi yang lain, sehingga bunyi tersebut membentuk semacam deretan bunyi. Persepsi terhadap suatu bunyi dalam deretan bunyi bisa dipengaruhi oleh kecepatan ujaran. Bunyi yang diucapkan dengan bunyi yang lain secara cepat akan sedikit banyak berubah lafalnya. Akan tetapi sebagai pendengar kita tetap saja dapat memilah dan akhirnya menentukan bunyi. Pengetahuan kita sebagai penutur bahasa dapat membantu dalam proses presepsi ujaran. Faktor lain yang membantu kita dalam mempresepsi suatu ujaran adalah pengetahuan kita tentang sintaksis maupun semantik bahasa kita.






DAFTAR PUSTAKA

Dardjowidjojo, Soenjono. 2008. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Sample text

Sample Text

Sample Text

 
Blogger Templates