Pemerolehan Bahasa
Disusun untuk Memenuhi
Tugas Mata Kuliah Psikolinguistik
Dosen Pengampu: Agoes Hendriyanto, M.Pd
Disusun
Oleh:
Ade
Haryanto (1220717036)
Andi Laila (1220717038)
Dealisa Rurin Wijaya (1220717041)
Lia Astriani (1220717047)
Reni Ariyani (1220717057)
PENDIDIKAN
BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
STKIP
PGRI PACITAN
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Bahasa adalah sistem tanda bunyi yang disepakati oleh
anggota kelompok masyarakat tertentu dalam bekerjasama, berkomunikasi, dan
mengidentifikasi diri. Bahasa adalah sebuah sistem, artinya bahasa itu di
bentuk oleh sejumlah komponen yang berpola secara tetap dan dapat dikaidahkan.
Dengan demikian, bahasa adalah suatu lambang yang telah bersistem yang harus
mendapatkan suatu kesepakatan seluruh warga msyarakat yang terlibat dalam suatu
lingkungan masyarakat yang terlibat dalam suatu lingkungan masyarakat yang
bertujuan untuk alat dalam bekerja sama, berkomunikasi, dan sarana identitas
suatu masyarakat.
Demikian juga dengan bahasa yang digunakan manusia,
tidak semata-mata bahasa itu datang dengan sendirinya dan digunakan dengan
begitu saja. Karena bahasa merupakan hasil belajar, maksudnya kepandaian dan
kemahiran untuk menguasai aturan-aturan dan kebiasaan-kebiasaan berbahasa
manusia diperoleh dari belajar, bukan melalui gen-gen yang dibawa sejak lahir.
Maka bahasa itu dapat dipelajari. Manusia mempunyai piranti pemerolehan bahasa
(language acquisition device) yang
tidak dipunyai oleh mahluk lain. Dengan piranti bahasa tersebut manusia bisa
belajar berbagai macam bahasa sekaligus memproduksi bahasa tersebut. Bahkan
manusia bisa berkomunikasi dengan dirinya sendiri. Ringkasnya, manusia bisa
menggunakan bahasa dengan berbagai tujuan dan cara.
Pemerolehan bahasa atau akuisisi
bahasa adalah proses yang berlangsung di dalam otak kanak-kanak ketika dia
memperoleh bahasa pertamanya atau bahasa ibunya. Pemerolehan bahasa biasanya dibedakan
dengan pembelajaran bahasa. Pembelajaran bahasa berkaitan dengan proses-proses
yang terjadi pada waktu seorang kanak-kanak mempelajari bahasa kedua setelah
dia memperoleh bahasa pertamanya. Jadi, pemerolehan bahasa berkenaan dengan
bahasa pertama, sedangkan pembelajaran bahasa berkenaan dengan bahasa kedua
(Chaer, 2003:167).
Istilah
"pemerolehan" terpaut dengan kajian psikolinguistik ketika kita
berbicara mengenai anak-anak dengan bahasa ibunya. Dengan beberapa
pertimbangan, istilah pertama dipakai untuk belajar B2 dan istilah kedua
dipakai untuk bahasa ibu (B1). Pemerolehan
bahasa yang dibawa sejak lahir, seorang anak mengolah data bahasa lalu
memproduksi ujaran-ujaran. Dengan watak aktif, kreatif, dan inovatif, anak-anak
akhirnya mampu menguasai gramatikal bahasa dan memproduksi tuturan menuju
bahasa yang diidealkan oleh penutur dewasa.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka proses dan
tahapan dalam pemerolehan bahasa akan dibahas dalam makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Proses Pemerolehan Bahasa Pertama
Pemerolehan bahasa atau akuisisi
bahasa adalah proses yang berlangsung di dalam otak
kanak-kanak ketika dia memperoleh bahasa pertamanya atau bahasa ibunya.
Pemerolehan bahasa biasanya dibedakan dengan pembelajaran bahasa. Pembelajaran
bahasa berkaitan dengan proses-proses yang terjadi pada waktu seorang
kanak-kanak mempelajari bahasa kedua setelah dia memperoleh bahasa pertamanya.
Jadi, pemerolehan bahasa berkenaan dengan bahasa pertama, sedangkan
pembelajaran bahasa berkenaan dengan bahasa kedua (Chaer, 2003:167).
Selama pemerolehan bahasa pertama,
Chomsky menyebutkan bahwa ada dua proses yang terjadi ketika seorang
kanak-kanak memperoleh bahasa pertamanya. Proses yang dimaksud adalah proses
kompetensi dan proses performansi. Kedua proses ini merupakan dua
proses yang berlainan. Kompetensi adalah proses penguasaan tata bahasa
(fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik) secara tidak disadari.
Kompetensi ini dibawa oleh setiap anak sejak lahir. Meskipun dibawa sejak
lahir, kompetensi memerlukan pembinaan sehingga anak-anak memiliki performansi
dalam berbahasa. Performansi adalah kemampuan anak menggunakan bahasa untuk
berkomunikasi. Performansi terdiri dari dua proses, yaitu proses pemahaman dan
proses penerbitan kalimat-kalimat. Proses pemahaman melibatkan kemampuan
mengamati atau mempersepsi kalimat-kalimat yang didengar, sedangkan proses
penerbitan melibatkan kemampuan menghasilkan kalimat-kalimat sendiri (Chaer
2003:167).
Selanjutnya, Chomsky juga
beranggapan bahwa pemakai bahasa mengerti struktur dari bahasanya yang membuat
dia dapat mengkreasi kalimat-kalimat baru yang tidak terhitung jumlahnya dan
membuat dia mengerti kalimat-kalimat tersebut. Jadi, kompetensi adalah
pengetahuan intuitif yang dipunyai seorang individu mengenai bahasa ibunya (native
languange). Intuisi linguistik ini tidak begitu saja ada, tetapi
dikembangkan pada anak sejalan dengan pertumbuhannya, sedangkan performansi
adalah sesuatu yang dihasilkan oleh kompetensi.
Berkaitan dengan bagaimana strategi
si anak dalam memperoleh bahasa pertamanya dan apakah setiap anak memiliki
strategi yang sama dalam memperoleh bahsa pertamanya, Dardjowidjojo,
(2005:243-244) menyebutkan bahwa pada umumnya kebanyakan ahli kini berpandangan
bahwa anak di mana pun juga memperoleh bahasa pertamanya dengan memakai
strategi yang sama. Kesamaan ini tidak hanya dilandasi oleh biologi dan
neurologi manusia yang sama, tetapi juga oleh pandangan mentalistik yang
menyatakan bahwa anak telah dibekali dengan bekal kodrati pada saat dilahirkan.
Di samping itu, dalam bahasa juga terdapat konsep universal sehingga anak
secara mental telah mengetahui kodrat-kodrat yang universal ini. Chomsky
mengibaratkan anak sebagai entitas yang seluruh tubuhnya telah dipasang tombol
serta kabel listrik: mana yang dipencet, itulah yang akan menyebabkan bola
lampu tertentu menyala. Jadi, bahasa mana dan wujudnya seperti apa ditentukan
oleh input sekitarnya.
1. Proses Perkembangan Bahasa Anak
a. Fonologi
Anak menggunakan bunyi-bunyi yang
telah dipelajarinya dengan bunyi-bunyi yang belum dipelajari, misalnya
menggantikan bunyi /l/ yang sudah dipelajari dengan bunyi /r/ yang belum
dipelajari. Pada akhir periode berceloteh, anak sudah mampu mengendalikan
intonasi, modulasi nada, dan kontur bahasa yang dipelajarinya.
b. Morfologi
Pada usia 3 tahun anak sudah
membentuk beberapa morfem yang menunjukkan fungsi gramatikal nomina dan verba
yang digunakan. Kesalahan gramatika sering terjadi pada tahap ini karena anak
masih berusaha mengatakan apa yang ingin dia sampaikan. Anak terus memperbaiki
bahasanya sampai usia sepuluh tahun.
c. Sintaksis
Alamsyah (2007:21) menyebutkan bahwa
anak-anak mengembangkan tingkat gramatikal kalimat yang dihasilkan melalui
beberapa tahap, yaitu melalui peniruan, melalui penggolongan morfem, dan
melalui penyusunan dengan cara menempatkan kata-kata secara bersama-sama untuk
membentuk kalimat.
d. Semantik
Anak menggunakan kata-kata tertentu
berdasarkan kesamaan gerak, ukuran, dan bentuk. Misalnya, anak sudah mengetahui
makna kata jam. Awalnya anak hanya mengacu pada jam tangan orang tuanya, namun
kemudian dia memakai kata tersebut untuk semua jenis jam.
B.
Tahap-tahap Pemerolehan Bahasa Pertama
Perlu untuk diketahui adalah seorang
anak tidak dengan tiba-tiba memiliki tata bahasa B1 dalam otaknya dan lengkap
dengan semua kaidahnya. B1 diperolehnya dalam beberapa tahap dan setiap tahap
berikutnya lebih mendekati tata bahasa dari bahasa orang dewasa. Menurut para
ahli, tahap-tahap ini sedikit banyaknya ada ciri kesemestaan dalam berbagai
bahasa di dunia.
Pengetahuan mengenai pemerolehan
bahasa dan tahapnya yang paling pertama di dapat dari buku-buku harian yang
disimpan oleh orang tua yang juga peneliti ilmu psikolinguistik. Dalam
studi-studi yang lebih mutakhir, pengetahuan ini diperoleh melalui rekaman-rekaman
dalam pita rekaman, rekaman video, dan eksperimen-eksperimen yang direncanakan.
Ada sementara ahli bahasa yang membagi tahap pemerolehan bahasa ke dalam tahap pralinguistik
dan linguistik. Akan tetapi, pendirian ini disanggah oleh banyak orang
yang berkata bahwa tahap pralinguistik itu tidak dapat dianggap bahasa yang
permulaan karena bunyi-bunyi seperti tangisan dan rengekan dikendalikan oleh
rangsangan (stimulus) semata-mata, yaitu respons otomatis anak pada
rangsangan lapar, sakit, keinginan untuk digendong, dan perasaan senang. Oleh
karena itu, tahap-tahap pemerolehan bahasa yang dibahas dalam makalah ini
adalah tahap linguistik yang terdiri atas beberapa tahap, yaitu (1)
tahap pengocehan (babbling); (2) tahap satu kata (holofrastis);
(3) tahap dua kata; (4) tahap menyerupai telegram (telegraphic speech).
1. Vokalisasi Bunyi
Pada umur sekitar 6 minggu, bayi
mulai mengeluarkan bunyi-bunyi dalam bentuk teriakan, rengekan, dekur. Bunyi
yang dikeluarkan oleh bayi mirip dengan bunyi konsonan atau vokal. Akan tetapi,
bunyi-bunyi ini belum dapat dipastikan bentuknya karena memang belum terdengar
dengan jelas. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah bunyi-bunyi yang dihasilkan
tadi merupakan bahasa? Fromkin dan Rodman (1993:395) menyebutkan bahwa bunyi
tersebut tidak dapat dianggap sebagai bahasa. Sebagian ahli menyebutkan bahwa
bunyi yang dihasilkan oleh bayi ini adalah bunyi-bunyi
prabahasa/dekur/vokalisasi bahasa/tahap cooing.
Setelah tahap vokalisasi, bayi mulai
mengoceh (babling). Celoteh merupakan ujaran yang memiliki suku kata
tunggal seperti mu dan da. Adapun umur si bayi mengoceh tak dapat
ditentukan dengan pasti. Mar’at (2005:43) menyebutkan bahwa tahap ocehan ini
terjadi pada usia antara 5 dan 6 bulan. Dardjowidjojo (2005: 244) menyebutkan
bahwa tahap celoteh terjadi sekitar umur 6 bulan. Tidak hanya itu. ada juga
sebagian ahli menyebutkan bahwa celoteh terjadi pada umur 8 sampai dengan 10
bulan. Perbedaan pendapat seperti ini dapat saja. Yang perlu diingat bahwa
kemampuan anak berceloteh tergantung pada perkembangan neurologi seorang anak.
Pada tahap celoteh ini, anak sudah
menghasilkan vokal dan konsonan yang berbeda seperti frikatif dan nasal. Mereka
juga mulai mencampur konsonan dengan vokal. Celotehan dimulai dengan konsonan
dan diikuti dengan vokal. Konsonan yang keluar pertama adalah konsonan bilabial
hambat dan bilabial nasal. Vokalnya adalah /a/. dengan demikian, strukturnya
adalah K-V. Ciri lain dari celotehan adalah pada usia sekitar 8 bulan, stuktur
silabel K-V ini kemudian diulang sehingga muncullah struktur seperti:
K1 V1 K1 V1 K1 V1…papapa mamama
bababa…
Orang tua mengaitkan kata papa dengan
ayah dan mama dengan ibu meskipun apa yang ada di benak tidaklah
kita ketahui. Tidak mustahil celotehan itu hanyalah sekedar artikulatori belaka
(Djardjowidjojo, 2005:245).
Begitu anak melewati periode
mengoceh, mereka mulai menguasai segmen-segmen fonetik yang merupakan balok
bangunan yang dipergunakan untuk mengucapkan perkataan. Mereka belajar
bagaimana mengucapkan sequence of segmen, yaitu silabe-silabe dan
kata-kata. Cara anak-anak mencoba menguasai segmen fonetik ini adalah dengan
menggunakan teori hypothesis-testing (Clark & Clark dalam Mar’at
2005:43). Menurut teori ini anak-anak menguji coba berbagai hipotesis tentang
bagaimana mencoba memproduksi bunyi yang benar.
Pada tahap-tahap permulaan pemerolehan
bahasa, biasanya anak-anak memproduksi perkataan orang dewasa yang
disederhanakan sebagai berikut:
(1) menghilangkan konsonan akhir:
blumen > bu
boot > bu
(2) mengurangi kelompok konsonan
menjadi segmen tunggal:
batre > bate
bring > bin
(3) menghilangkan silabel yang tidak
diberi tekanan:
kunci > ti
semut > emut
(4) reduplikasi silabel yang
sederhana:
pergi > gigi
nakal > kakal
Menurut beberapa hipotesis,
penyederhanaan ini disebabkan oleh memory span yang terbatas, kemampuan
representasi yang terbatas, kepandaian artikulasi yang terbatas (Mar’at
2005:46-47).
Apakah tahap celoteh ini penting
bagi si anak. Jawabannya tentu saja penting. Tahap celoteh ini penting artinya
karena anak mulai belajar menggunakan bunyi-bunyi ujaran yang benar dan
membuang bunyi ujaran yang salah. Dalam tahap ini anak mulai menirukan
pola-pola intonasi kalimat yang diucapkan oleh orang dewasa.
2. Tahap Satu-Kata atau Holofrastis
Tahap ini berlangsung ketika anak
berusia antara 12 dan 18 bulan. Ujaran-ujaran yang mengandung kata-kata tunggal
diucapkan anak untuk mengacu pada benda-benda yang dijumpai sehari-hari. Pada
tahap ini pula seorang anak mulai menggunakan serangkaian bunyi berulang-ulang
untuk makna yang sama. pada usia ini pula, sang anak sudah mengerti bahwa bunyi
ujar berkaitan dengan makna dan mulai mengucapkan kata-kata yang pertama.
Itulah sebabnya tahap ini disebut tahap satu kata satu frase atau kalimat, yang
berarti bahwa satu kata yang diucapkan anak itu merupakan satu konsep yang
lengkap, misalnya “mam” (Saya minta makan); “pa” (Saya mau papa ada di sini),
“Ma” (Saya mau mama ada di sini).
Mula-mula, kata-kata itu diucapkan
anak itu kalau rangsangan ada di situ, tetapi sesudah lebih dari satu tahun,
“pa” berarti juga “Di mana papa?” dan “Ma” dapat juga berarti “Gambar seorang
wanita di majalah itu adalah mama”.
Menurut pendapat beberapa peneliti
bahasa anak, kata-kata dalam tahap ini mempunyai tiga fungsi, yaitu kata-kata
itu dihubungkan dengan perilaku anak itu sendiri atau suatu keinginan untuk
suatu perilaku, untuk mengungkapkan suatu perasaan, untuk memberi nama kepada
suatu benda. Dalam bentuknya, kata-kata yang diucapkan itu terdiri dari
konsonan-konsonan yang mudah dilafalkan seperti m,p,s,k dan vokal-vokal
seperti a,i,u,e.
3. Tahap Dua-Kata, Satu Frase
Tahap ini berlangsung ketika anak
berusia 18-20 bulan. Ujaran-ujaran yang terdiri atas dua kata mulai muncul
seperti mama mam dan papa ikut. Kalau pada tahap holofrastis
ujaran yang diucapkan si anak belum tentu dapat ditentukan makna, pada tahap
dua kata ini, ujaran si anak harus ditafsirkan sesuai dengan konteksnya. Pada
tahap ini pula anak sudah mulai berpikir secara “subjek + predikat” meskipun
hubungan-hubungan seperti infleksi, kata ganti orang dan jamak belum dapat
digunakan. Dalam pikiran anak itu, subjek + predikat dapat terdiri atas kata
benda + kata benda, seperti “Ani mainan” yang berarti “Ani sedang bermain
dengan mainan” atau kata sifat + kata benda, seperti “kotor patu” yang artinya
“Sepatu ini kotor” dan sebagainya.
4. Ujaran Telegrafis
Pada usia 2 dan 3 tahun, anak mulai
menghasilkan ujaran kata-ganda (multiple-word utterances) atau disebut
juga ujaran telegrafis. Anak juga sudah mampu membentuk kalimat dan mengurutkan
bentuk-bentuk itu dengan benar. Kosakata anak berkembang dengan pesat mencapai
beratus-ratus kata dan cara pengucapan kata-kata semakin mirip dengan bahasa
orang dewasa. Contoh dalam tahap ini diberikan oleh Fromkin dan Rodman.
“Cat stand up table” (Kucing
berdiri di atas meja);
“What that?” (Apa itu?);
“He play little tune” (dia
memainkan lagu pendek);
“Andrew want that” (Saya,
yang bernama Andrew, menginginkan itu);
“No sit here” (Jangan duduk
di sini!)
Pada usia dini dan seterusnya,
seorang anak belajar B1-nya secara bertahap dengan caranya sendiri. Ada teori
yang mengatakan bahwa seorang anak dari usia dini belajar bahasa dengan cara
menirukan. Namun, Fromkin dan Rodman (1993:403) menyebutkan hasil peniruan yang
dilakukan oleh si anak tidak akan sama seperti yang diinginkan oleh orang dewasa.
Jika orang dewasa meminta sang anak untuk menyebutkan “He’s going out”,
si anak akan melafalkan dengan “He go out”. Ada lagi teori yang
mengatakan bahwa seorang anak belajar dengan cara penguatan (reinforcement),
artinya kalau seorang anak belajar ujaran-ujaran yang benar, ia mendapat
penguatan dalam bentuk pujian, misalnya bagus, pandai, dsb. Akan tetapi,
jika ujaran-ujarannya salah, ia mendapat “penguatan negatif”, misalnya lagi,
salah, tidak baik. Pandangan ini berasumsi bahwa anak itu harus terus
menerus diperbaiki bahasanya kalau salah dan dipuji jika ujarannya itu benar.
Teori ini tampaknya belum dapat
diterima seratus persen oleh para ahli psikologi dan ahli psikolinguistik. Yang
benar ialah seorang anak membentuk aturan-aturan dan menyusun tata bahasa
sendiri. Tidak semua anak menunjukkan kemajuan-kemajuan yang sama meskipun
semuanya menunjukkan kemajuan-kemajuan yang reguler.
Selain tahap pemerolehan bahasa yang
disebutkan di atas, ada juga para ahli bahasa seperti Aitchison mengemukakan beberapa
tahap pemerolehan bahasa anak.
Tahap
1: Mendengkur
Tahap ini mulai berlangsung pada anak usia sekitar enam
minggu. Bunyi yang dihasilkan mirip dengan vokal tetapi tidak sama dengan bunyi
vokal orang dewasa.
Tahap
2: Meraban
Tahap ini berlangsung ketika usia anak mendekati enam bulan.
Tahap meraban merupakan pelatihan bagi alat-alat ucap. Vokal dan konsonan
dihasilkan secara serentak.
Tahap
3: Pola intonasi
Anak mulai menirukan pola-pola intonasi. Tuturan yang
dihasilkan mirip dengan yang diucapkan ibunya.
Tahap
4: Tuturan satu kata
Pada umur satu tahun sampai delapan belas bulan anak mulai
mengucapkan tuturan satu kata. Pada usia ini anak memperoleh sekitar lima belas
kata meliputi nama orang, binatang, dan lain-lain.
Tahap
5: Tuturan dua kata
Umumnya pada usia dua setengah tahun anak sudah menguasai
beberapa ratus kata. Tuturan hanya terdiri atas dua kata.
Tahap
6: Infleksi kata
Kata-kata yang dianggap remeh dan infleksi mulai digunakan.
Dalam bahasa Indonesia yang tidak mengenal istilah infleksi, mungkin berwujud
pemerolehan bentuk-bentuk derivasi, misalnya kata kerja yang mengandung awalan
atau akhiran.
Tahap
7: Bentuk Tanya dan bentuk ingkar
Anak mulai memperoleh kalimat tanya dengan kata tanya
seperti apa, siapa, kapan, dan sebagainya. Di samping itu anak juga sudah
mengenal bentuk ingkar.
Tahap
8: Konstruksi yang jarang atau kompleks
Anak sudah mulai berusaha menafsirkan meskipun penafsirannya
dilakukan secara keliru. Anak juga memperoleh kalimat dengan struktur yang
rumit, seperti pemerolehan kalimat majemuk.
Tahap
9: Tuturan yang matang
Pada tahap ini anak sudah dapat menghasilkan kalimat-kalimat
seperti orang dewasa.
C. Teori-teori tentang Pemerolehan Bahasa Pertama
1. Teori Behaviorisme
Teori behaviorisme menyoroti aspek
perilaku kebahasaan yang dapat diamati langsung dan hubungan antara rangsangan
(stimulus) dan reaksi (response). Perilaku bahasa yang efektif
adalah membuat reaksi yang tepat terhadap rangsangan. Reaksi ini akan menjadi
suatu kebiasaan jika reaksi tersebut dibenarkan. Dengan demikian, anak belajar
bahasa pertamanya.
Sebagai contoh, seorang anak
mengucapkan bilangkali untuk barangkali. Sudah pasti si anak akan
dikritik oleh ibunya atau siapa saja yang mendengar kata tersebut. Apabila sutu
ketika si anak mengucapkan barangkali dengan tepat, dia tidak mendapat
kritikan karena pengucapannya sudah benar. Situasi seperti inilah yang
dinamakan membuat reaksi yang tepat terhadap rangsangan dan merupakan hal yang
pokok bagi pemerolehan bahasa pertama.
B.F. Skinner adalah tokoh aliran behaviorisme.
Dia menulis buku Verbal Behavior (1957) yang digunakan sebagai rujukan
bagi pengikut aliran ini. Menurut aliran ini, belajar merupakan hasil faktor
eksternal yang dikenakan kepada suatu organisme. Menurut Skinner, perilaku
kebahasaan sama dengan perilaku yang lain, dikontrol oleh konsekuensinya.
Apabila suatu usaha menyenangkan, perilaku itu akan terus dikerjakan.
Sebaliknya, apabila tidak menguntungkan, perilaku itu akan ditinggalkan.
Singkatnya, apabila ada reinforcement yang cocok, perilaku akan berubah
dan inilah yang disebut belajar.
Namun demikian, banyak kritikan
terhadap aliran ini. Chomsky mengatakan bahwa toeri yang berlandaskan conditioning
dan reinforcement tidak bisa menjelaskan kalimat-kalimat baru yang
diucapkan untuk pertama kali dan inilah yang kita kerjakan tiap hari. Bower dan
Hilgard juga menentang aliran ini dengan mengatakan bahwa penelitian mutakhir
tidak mendukung aliran ini.
Aliran behaviorisme mengatakan bahwa
semua ilmu dapat disederhanakan menjadi hubungan stimulus-response. Hal
tersebut tidaklah benar karena tidak semua perilaku berasal dari stimulus-response.
2. Teori Nativisme
Chomsky merupakan penganut
nativisme. Menurutnya, bahasa hanya dapat dikuasai oleh manusia, binatang tidak
mungkin dapat menguasai bahasa manusia. Pendapat Chomsky didasarkan pada beberapa
asumsi. Pertama, perilaku berbahasa adalah sesuatu yang diturunkan
(genetik), setiap bahasa memiliki pola perkembangan yang sama (merupakan
sesuatu yang universal), dan lingkungan memiliki peran kecil di dalam proses
pematangan bahasa. Kedua, bahasa dapat dikuasai dalam waktu yang relatif
singkat. Ketiga, lingkungan bahasa anak tidak dapat menyediakan data
yang cukup bagi penguasaan tata bahasa yang rumit dari orang dewasa.
Menurut aliran ini, bahasa adalah
sesuatu yang kompleks dan rumit sehingga mustahil dapat dikuasai dalam waktu
yang singkat melalui “peniruan”. Nativisme juga percaya bahwa setiap manusia
yang lahir sudah dibekali dengan suatu alat untuk memperoleh bahasa (language
acquisition device, disingkat LAD). Mengenai bahasa apa yang akan diperoleh
anak bergantung pada bahasa yang digunakan oleh masyarakat sekitar. Sebagai
contoh, seorang anak yang dibesarkan di lingkungan Amerika sudah pasti bahasa
Inggris menjadi bahasa pertamanya.
Semua anak yang normal dapat belajar
bahasa apa saja yang digunakan oleh masyarakat sekitar. Apabila diasingkan
sejak lahir, anak ini tidak memperoleh bahasa. Dengan kata lain, LAD tidak
mendapat “makanan” sebagaimana biasanya sehingga alat ini tidak bisa mendapat
bahasa pertama sebagaimana lazimnya seperti anak yang dipelihara oleh srigala
(Baradja, 1990:33).
Tanpa LAD, tidak mungkin seorang
anak dapat menguasai bahasa dalam waktu singkat dan bisa menguasai sistem
bahasa yang rumit. LAD juga memungkinkan seorang anak dapat membedakan bunyi
bahasa dan bukan bunyi bahasa.
3. Teori Kognitivisme
Menurut teori ini, bahasa bukanlah
suatu ciri alamiah yang terpisah, melainkan salah satu di antara beberapa
kemampuan yang berasal dari kematangan kognitif. Bahasa distrukturi oleh nalar.
Perkembangan bahasa harus berlandaskan pada perubahan yang lebih mendasar dan
lebih umum di dalam kognisi. Jadi, urutan-urutan perkembangan kognitif
menentukan urutan perkembangan bahasa (Chaer, 2003:223). Hal ini tentu saja
berbeda dengan pendapat Chomsky yang menyatakan bahwa mekanisme umum dari
perkembangan kognitif tidak dapat menjelaskan struktur bahasa yang kompleks,
abstrak, dan khas. Begitu juga dengan lingkungan berbahasa. Bahasa harus
diperoleh secara alamiah.
Menurut teori kognitivisme, yang
paling utama harus dicapai adalah perkembangan kognitif, barulah pengetahuan
dapat keluar dalam bentuk keterampilan berbahasa. Dari lahir sampai 18 bulan,
bahasa dianggap belum ada. Anak hanya memahami dunia melalui indranya. Anak
hanya mengenal benda yang dilihat secara langsung. Pada akhir usia satu tahun,
anak sudah dapat mengerti bahwa benda memiliki sifat permanen sehingga anak
mulai menggunakan simbol untuk mempresentasikan benda yang tidak hadir
dihadapannya. Simbol ini kemudian berkembang menjadi kata-kata awal yang
diucapkan anak.
4. Teori Interaksionisme
Teori interaksionisme beranggapan
bahwa pemerolehan bahasa merupakan hasil interaksi antara kemampuan mental
pembelajaran dan lingkungan bahasa. Pemerolehan bahasa itu berhubungan dengan
adanya interaksi antara masukan “input” dan kemampuan internal yang dimiliki
pembelajar. Setiap anak sudah memiliki LAD sejak lahir. Namun, tanpa ada
masukan yang sesuai tidak mungkin anak dapat menguasai bahasa tertentu secara
otomatis.
Sebenarnya, menurut hemat penulis,
faktor intern dan ekstern dalam pemerolehan bahasa pertama oleh sang anak
sangat mempengaruhi. Benar jika ada teori yang mengatakan bahwa kemampuan
berbahasa si anak telah ada sejak lahir (telah ada LAD). Hal ini telah dibuktikan
oleh berbagai penemuan seperti yang telah dilakukan oleh Howard Gardner. Dia
mengatakan bahwa sejak lahir anak telah dibekali berbagai kecerdasan. Salah
satu kecerdasan yang dimaksud adalah kecerdasan berbahasa (Campbel, dkk., 2006:
2-3). Akan tetapi, yang tidak dapat dilupakan adalah lingkungan juga faktor
yang memperngaruhi kemampuan berbahasa si anak. Banyak penemuan yang telah
membuktikan hal ini.
D.
Pengertian Pemerolehan Bahasa
Kedua
Secara
umum pemerolehan bahasa kedua (PB2) mengacu kepada mengajar dan belajar bahasa
asing atau bahasa kedua lainnya, kita berbicara mengenai mengajar dan belajar
bahasa, otomatis kita teringat akan kelas di sekolah.
Pemerolehan
bahasa memang bersamaan dengan proses yang digunakan oleh anak-anak dalam
pemerolehan bahasa pertama dan pemerolehan bahasa kedua.
1. Hipotesis
Pemerolehan Bahasa Kedua
a.
Hipotesis pembendaan pemerolehan
dan belajar
Hipotesis ini menyatakan bahwa orang dewasa mempunyai dua
cara yang berbeda, berdikari dan mandiri mengenai pengembangan kompetensi dalam
suatu bahasa kedua, yaitu:
·
Cara yang pertama adalah pemerolehan bahasa, yang merupakan
proses yang bersamaan, jika tidak identik atau sama betul dengan cara anak-anak
mengembangkan kemampuan dalam bahasa pertama mereka.
·
Cara yang kedua untuk mengembangkan
kompetensi dalam bahasa kedua ialah dengan belajar bahasa.
2. Hipotesis
urutan ilmiah
Salah satu dari penemuan-penemuan yang paling menyenangkan
dan paling menarik dalam penelitian pemerolehan bahasa tahun-tahun terakhir ini
adalah penemuan bahwa pemerolehan struktur-struktur gramatikal benar-benar
dalam urutan yang dapat diramalkan. Perlu diketahui bahwa urutan pemerolehan
bahasa kedua tidaklah sama dengan urutan pemerolehan bagi bahasa pertama
sekalipun tentu saja ada beberapa persamaan.
3. Hipotesis
monitor
Hipotesis monitor mengemukakan serta menjelaskan bahwa
pemerolehan dan belajar dipakai dengan cara yang khas. Biasanya, pemerolehan
“memprakarsai” ucapan-ucapan kita dalam bahasa kedua dan juga bertanggungjawab
atas kelancaran kita, kefasihan kita. Belajar hanya mempunyai satu fungsi,
yaitu sebagai monitor atau editor sebagai pemantau atau penyunting. Belajar
hanya berperan membuat perubahan-perubahan dalam bentuk ujaran kita, setelah
dihasilkan oleh sistem yang diperoleh yang diinginkan.
Riset menyarankan bahwa para penampil bahasa kedua dapat
menggunakan kaidah-kaidah sadar hanya apabila memenuhi tiga kondisi yaitu :
1.Waktu
2. Fokus pada bentuk
3. Mengetahui kaidah
Agar kita dapat berfikir mengenai dan menggunakan
kaidah-kaidah kesadaran secara efektif, penampil bahasa kedua perlu memiliki
cukup waktu. Bagi kebanyakan orang, percakapan normal tidak menyediakan cukup
waktu untuk berfikir mengenai kaidah-kaidah beserta pengunaannya. Penggunaan
kaidah yang berlebih-lebihan dalam percakapan dapat membawa orang pada
kesulitan, misalnya suatu gaya berbicara yang ragu-ragu dan tidak adanya perhatian
terhadap apa yang dikatakan oleh teman bicara. Menggunakan monitor secara
efektif, tidak cukup dengan sarana waktu saja. Sang penampil harus juga
memusatkan perhatian pada”bentuk” atau berfikir mengenai kebenaran atau
ketepatan. Bahkan walaupun kita mempunyai cukup waktu, kita mungkin saja begitu
terlibat pada “apa” yang dikatakan yang tidak kita arahkan pada “bagaimana”
kita menyatakannya.
4. Hipotesis
masukan
Ada dua hal yang menarik mengenai hipotesis masukan ini,
yaitu :
1. Banyak dari bahan ini
relatif baru, sedangkan hipotesis-hipotesis lainnya telah diberikan dan
didiskusikan dalam beberapa buku dan makalah
2. Hipotesis ini penting baik
secara teoritis dan praktis.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa bagian-bagian (1) dan
(2) hipotesis masukan itu sebagai berikut :
·
Hipotesis masukan berhubungan dengan pemerolehan bukan
dengan belajar
·
Kita memperoleh dengan memahami bahasa yang mengandung
struktur sedikit disekitar tingkat kompetensi yang mutakhir.
·
Apabila komunikasi berhasil, masukan dipahami dan terdapat
cukup mengenai hal itu tersajikan atau tersedia secara otomatis
·
Kemampuan berproduksi muncul, tidak diajarkan secara
langsung.
Faktor penunjang kedua bagi hipotesis masukan adalah berupa
fakta-fakta dari pemerolehan bahasa kedua, berupa sandi-sandi sederhana.
Hipotesis masukan juga menarik bagi pemerolehan bahasa kedua. Pertama-tama,
seperti telah di singgung sebelumnya pemerolehan bahasa kedua, anak-anak atau
orang dewasa, juga merupakan pemerolehan sama seperti sang anak memperoleh bahasa
pertama juga karena adanya urutan alamiah pemerolehan bagi bahasa kedua seperti
halnya bahasa pertama.
5. Hipotesis saringan afektif
Hipotesis saringan afektif menyatakan betapa afektifnya
faktor-faktor berhubungan dengan proses pemerolehan bahasa kedua. Secara
singkat dibicarakan hubungan faktor-faktor afektif dengan proses pemerolehan
bahasa kedua.
Hipotesis saringan afektif menuntut bahwa efek atau pengaruh
“afek” atau “kepura-puraan” atau “yang dibuat-buat” memang berada “diluar”
sarana pemerolehan bahasa yang wajar. Sedangkan variabel-variabel afektif
bertindak menghalangi atau memberi kemudahan bagi penyampaian atau pengiriman
masukan kepada sarana pemerolehan bahasa.
Hipotesis saringan afektif ini menjelaskan mengapa seorang
pemeroleh mungkin memperoleh atau mendapat sejumlah masukan yang
dapat/mudah dipahami namun menghentikan segera (bahkan kadang-kadang sangat
segera) tingkat pembicara asli (atau” memfosilisasikan”. Kalau hal ini terjadi
jelas merupakan garapan saringan afektif, merupakan tanggung jawab saringan
afektif.
KESIMPULAN
Pemerolehan bahasa pertama adalah
proses penguasaan bahasa pertama oleh si anak. Selama penguasaan bahasa pertama
ini, terdapat dua proses yang terlibat, yaitu proses kompetensi dan proses performansi.
Kedua proses ini tentu saja diperoleh oleh anak secara tidak sadar.
Secara umum pemerolehan bahasa kedua
(PB2) mengacu kepada mengajar dan belajar bahasa asing atau bahasa kedua
lainnya, kita berbicara mengenai mengajar dan belajar bahasa, otomatis kita
teringat akan kelas di sekolah. Ragam hipotesis pemerolehan bahasa kedua
meliputi hipotesis pembendaan pemerolehan-belajar, hipotesis urutan ilmiah,
hipotesis monitor, hipotesis masukan dan hipotesis saringan efektif.
DAFTAR PUSTAKA
Tarigan, Hendry Guntur. 1988. Pengajaran
Pemerolehan Bahasa. Bandung: Angkasa.
Alamsyah,
Teuku. 1997. Pemerolehan Bahasa Kedua (Second Language Acqusition). Diktat
Kuliah Program S-2. Banda Aceh: Universitas Syiah Kuala.
Baradja, M.F. 1990. Kapita
Selekta Pengajaran Bahasa. Malang: IKIP
Campbel, dkk. 2006. Metode
Praktis Pembelajaran Berbasis Multiple Intelligences. Depok: Intuisi Press.
Chaer, Abdul. 2003. Psikolinguistik:Kajian
Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.
Dardjowidjojo, Soenjono.
Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor.
Fromkin Victoria dan Robert Rodman.
1993. An Introduction to Language. Florida: Harcourt Brace Jovanovich
Collage.
Mahmud, Saifuddin dan Sa’adiah.
1997. Teori Pembelajaran Bahasa: Materi Kuliah Program Setara D-3. Banda
Aceh: FKIP Unsyiah.
Mar’at, Samsunuwiyati. 2005. Psikolinguistik
Suatu Pengantar. Bandung: PT Refika Aditama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar